Indonesia tanpa jombang mungkin tidak seru, para pendekar pendekar dan ksatria-ksatrianya bertebaran di muka bumi NKRI, nah...jika Indonesia ini diibaratkan rumah, maka Kabupaten Jombang adalah sebuah sudut kecil yang berada di rumah itu. Namun justru dari sudut kecil itulah selalu muncul letupan-letupan mengejutkan dan mampu membetot perhatian seisi rumah. Kadang letupan itu hanya berupa asap. Muncul lalu menghilang. Bisa juga letupan itu berupa bara. Menganga, menghangatkan, memanaskan sekaligus mencemaskan.
Paling baru, letupan dari sudut kecil itu bernama Jari, usianya 40 tahun. Dia tinggal di Dusun Gempol, Desa Karangpakis, Kecamatan Kabuh. Kemunculan Jari ini entah sebagai asap atau bara. Pastinya, kemunculan bapak dua anak ini juga membetot perhatian. Pandang mata seisi rumah tertumbuk kepadanya. Ada yang was-was, ada yang nyinyir, ada pula yang kepanasan, sehingga ingin segera menyiramnya dengan air. Maklum saja, ketika kata-kata sesat sedang fasih
dirapalkan di negeri ini, Jari justru mendongak dan mengaku sebagai nabi. Dia mengerek bendera dengan embel-embel nabi tanda akhir zaman bergelar Isa Habibullah atau Isa Kekasih Allah. Ceritanya, suatu hari di malam Jumat Legi tahun 2004, Jari sedang menjalankan ibadah salat malam. Ketika terbenam dalam sujud, dia mendengar bacaan Surat Yasin berulang-ulang. Dada Jari seperti dihantam godam. Dari kejadian itu, dia menafsirkan bahwa wahyu kenabian telah hinggap pada dirinya. Dari dusun kecil di pinggiran hutan Kecamatan Kabuh, dia membangun pesantren. Lewat dusun terpencil itu pula Jari meneriakkan kenabiannya. Teriakan itu tidak keras, namun gemanya merambat kemana-mana. Menerobos jalan raya, melintasi gedung tinggi, masuk ke ruang MUI, membentur kursi gubernur, hingga mangitari meja menteri. Tentu saja, Menteri Agama akhirnya bersuara untuk menanggapi. Atas fenomena itu, komentar yang mengalir dari banyak orang pun beragam. Namun nada dasarnya tetap seragam, semisal 'ada apa lagi dengan Jombang?' atau 'Jombang memang aneh'. Bahkan lebih ekstrim lagi, munculnya Jari akan menambah daftar panjang deretan 'orang gila' yang lahir dari sudut ruang bernama Jombang. Soal banyaknya 'orang gila' yang lahir dari Jombang,
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengakuinya. Akan tetapi, justru hal itu menjadi kebanggan tersendiri bagi Gus Dur terhadap tanah kelahirannya. Saya masih ingat, dalam sebuah ceramah pengajian di alun-alun Jombang tahun 2002, mantan presiden ini menyebut setidaknya ada tujuh 'orang gila' yang lahir dari rahim Jombang. Ya, kota santri telah menyumbang tujuh 'orang gila' untuk Indonesia. Siapa saja mereka?
Berada di urutan pertama adalah Gus Dur sendiri. Semua orang tahu, bagaimana sepak terjang cucu pendiri NU ini selama hidup. Ketika orde baru sedang kuat-kuatnya, Gus Dur justru mengibarkan bendera perlawanan. Peta pemikiran Gus Dur juga sulit ditebak, dan tidak jarang memantik kontroversi. Semisal, mengubah Assalamu'alaikum menjadi selamat pagi. Gus Dur memang aneh. Hanya Gus Dur presiden yang meninggalkan istana dengan mengenakan celana kolor.
Selanjutnya 'orang gila' yang menempati urutan kedua adalah Nurcholis Madjid atau Cak Nur. Tokoh pembaruan pemikiran Isapan ini lahir di Dusun Mojoanyar, Desa Mojotengah, Kecamatan Bareng, Jombang. Menjelang pemilu 1971, Cak Nur membuat geger Indonesia terkait pandangannya tentang politik dan keislaman. Cak Nur melontarkan gagasan ‘Islam yes, Partai Islam no’. Padahal saat itu partai Islam sedang naik daun.
Lantas, siapa 'orang gila' urutan ketiga dari Jombang?
Gus Dur dalam pengajian itu menyebut nama Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Pria kelahiran Desa Mentoro, Kecamatan Sumobito ini dikenal sebagai sosok yang multidimensi. Maka tidak berlebihan jika Gus Mus (KH Mustofa Bisri) menjuluki Cak Nun seperti tertulis dalam selarik puisinya; santri tanpa sarung, haji tanpa peci, kiai tanpa sorban, dai tanpa mimbar, mursyid tanpa tarekat, sarjana tanpa wisuda, guru tanpa sekolahan, aktivis tanpa LSM, pendemo tanpa spanduk, politisi tanpa partai, wakil rakyat tanpa dewan, pemberontak tanpa senjata, ksatria tanpa kuda, saudara tanpa hubungan darah. Masih segar dalam ingatan kita saat Presiden Soeharto meletakkan jabatannya pada 21 Mei 1998. Di depan kamera televisi disaksikan jutaan rakyat Indonesia, Soeharto menyatakan dalam bahasa Jombangan “Ora dadi presiden ora patheken”. Nah, siapa lagi yang mengajari orang kuat di era orde baru itu, kalau bukan 'orang gila' dari Jombang.
Sementara urutan keempat adalah Wardah Hafidz. Anak tokoh Masyumi asal Desa/Kecamatan Sumobito. Wardah dikenal sebagai emaknya kaum miskin kota di DKI Jakarta. Ketika tukang becak digusur, Wardah tampil membela, begitu juga ketika pemulung dan PKL (Pedagang Kaki Lima) diobrak-abrik. 'Orang gila' urutan keempat ini selalu pasang badan. Wardah pernah memantik kontroversi. Dia mencalonkan seorang tukang becak bernama Rasdullah untuk menjadi walikota DKI. Saat mendaftar Rasdullah hanya membawa sapu lidi, yang akan digunakan membersihkan koruptor. Singkat kata, hanya Wardah yang bisa membikin Sutiyoso (walikota DKI Jakarta, saat itu), pusing kepala.
Kelima, yang masuk daftar 'orang gila' versi Gus Dur adalah Salman Hafidz. Dia merupakan kakak kandung Wardah Hafidz. Bersama kelompoknya yang tergabung dalam Komando Jihad, Salman melakukan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla jurusan Palembang-Medan, pada 28 Maret 1981. Salman dkk menuntut agar para rekannya yang ditahan usai peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, dibebaskan. Aksi kelompok ini bisa digagalkan tentara. Salman sendiri akhirnya dieksekusi. Aksi kelompok ini kemudian dikenal sebagai teror pertama di Indonesia.
Keenam adalah Asmuni, pria kelahiran Desa/Kecamatan Diwek, Jombang. Asmuni bukan pelawak dadakan. Namun tumbuh dari proses alam, dari panggung komedi kehidupan rakyat, hingga menjadi ikon Srimulat. Semua orang pasti ingat, blangkon, kumis ala hitler, ungkapan menggelitik 'hil yang mustahal' hingga tertawa ha ha ha ha ha sebanyak lima kali. Semua itu adalah khas Asmuni. Bahkan di ujung usianya, dalam kondisi digerogoti penyakit, Asmuni masih bisa melemparkan humor-humor segarnya.
Orang ketujuh yang masuk daftar 'orang gila' kelahiran Jombang adalah Abu Bakar Ba'asyir, pendiri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Arek Mojoagung Jombang ini banyak dikait-kaitkan dengan gerakan terorisme. Ba'asyir merupakan salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu'min, Sukoharjo Jawa Tengah. Bagi saya, tujuh tokoh yang disebut oleh Gus Dur itu
hanyalah contoh. Karena masih banyak lagi tokoh yang memenuhi etalase Jombang. Mereka muncul dari arah yang berbeda. Ada dari kiri, kiri habis, tengah, kanan, hingga dari kanan habis. Bahkan ada pula dari mereka yang sudah tersobek dari lembar sejarah. Semaun misalnya. Dia adalah pendiri PKI (Partai Komunis Indonesia). Lahir di Curahmalang, Kecamatan Sumobito, Jombang. Karena bahaya 'merahnya' nama Semaun tersobek dari lembar sejarah.
Di wilayah kesenian, ada Cak Durasim, yang namanya diabadikan menjadi gedung di Surabaya. Di tangan arek Jombang ini, ludruk menjadi ancaman bagi Jepang. 'Pasemonnya' tajam melebihi bambu runcing. Pasemonnya yang paling terkenal adalah 'Pagupon Omahe Doro, Melok Nipon Tambah Sengsoro'. Karena kata-kata itu pula, Cak Durasim ditangkap Jepang. Dia syahid di tangan penjajah. Di Jombang sendiri, nama Cak Durasim kemudian diabadikan menjadi nama jalan.
Ada juga Gombloh, pelantun lagu 'Kebyar Kebyar'. Penyanyi legendaris ini lahir di Desa Kepatihan, Jombang Kota. Aksi 'gila' Gombloh adalah ketika honornya dari nyanyi dibelikan BH. Pakaian dalam itu kemudian dinaikkan becak dan dibagikan kepada penghuni lokalisasi Gang Dolly. Setelah era Gombloh, masih ada penyanyi yang lahir dari Kota Santri. Dia adalah Nur Halimah, penyanyi dangdut yang bertetangga dengan Cak Nur.
Ada lagi? Tentu saja masih banyak 'orang aneh' dari Jombang.
Sebut saja Choirun Nasikhin, warga Desa Nglele, Kecamatan Sumobito. Pada tahun 1994, Choirun membuat gempar Indonesia. Dia 'nunut' pesawat Garuda untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Sejak itu Choirun dijuluki Haji Nunut.
Rentang belasan tahun kemudian muncul nama Ponari, dukun cilik bersenjata batu petir. Puluhan orang memadati rumahnya untuk mencari kesembuhan.
Di wilayah kriminal, Jombang menyorongkan nama Very Idham Henyansah atau Ryan, ke pentas nasional. Pria gemulai ini melakukan pembunuhan sadis pada tahun 2008. Tidak tanggung-tanggung, korbannya tembus 11 orang.
Jombang juga tidak lelah melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki pemikiran brilian untuk negeri ini. Maka tidak heran dari rahim Jombang lahir tiga Pahlawan Nasional. Yakni, Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, serta KH Wahid Hasyim. Dua nama pertama itu sekaligus pendiri organisasi keagamaan terbesar se-Nusantara sampai hari ini: Nahdlatul Ulama (NU), bersama KH Bisri Syansuri.
Dewasa ini, nama arek Jombang makin bertebaran di pentas regional dan nasional. Sebut saja Muhaimin Iskandar (mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi), kemudian Jenderal Timur Pradopo (mantan Kapolri), Imam Utomo (mantan Gubernur Jawa Timur), Choirul Anam atau Cak Anam (mantan Ketua GP Ansor Jawa Timur), tidak ketinggalan pula Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul.
Zaman terus bergerak, roda sejarah tak henti berputar. Keyakinan saya, Jombang masih produktif melahirkan 'orang-orang gila' yang akan disumbangkan untuk Indonesia. Oleh karenanya, setelah fenomena 'Nabi Isa', mari kita tunggu letupan apa lagi yang bakal muncul dari sudut kecil di rumah besar bernama Indonesia ini.(copas WA Group Jombang diaspora)
No comments:
Post a Comment