Ilahi lastu
lilfirdausi ahla, walaa aqwa ‘ala naaril jahiimi
Fahabli taubatan
waghfir dzunubi, fainaka ghafirudz- dzanbil ‘adzimi
Dzunubi mitslu
a’daadir- rimali, fahabli taubatan ya Dzal Jalaali
Wa ‘umri naqishu
fi kulli yaumi, wa dzanbi zaaidun kaifa –htimali
Ilahi ‘abdukal
‘aashi ataak, muqirran bi dzunubi wa qad di’aaka
fain taghfir fa
anta lidzaka ahlun, wain tadrud faman narju siwaaka
Ya Allah …tidak
layak hambaMu ini masuk ke dalam surga-Mu
tetapi hamba
tiada kuat menerima siksa neraka-Mu
Maka kami mohon
tobat dan mohon ampun atas dosaku
sesungguhnya
Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa
Dosa-dosaku
seperti butiran pasir di pantai
maka
anegerahilah hamba taubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba
berkurang setiap hari,
sementara dosa-dosa
hamba selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya
Tampaknya syair di atas akan tetap kekal sampai
akhir jaman bagi manusia, sebagai pengingat dan renungan tentang dosa-dosa
manusia. Siapa pun itu dan dimanapun, syair itu sangat tepat dan cocok sebagai
cambuk peringatan. Apalagi di tengah suhu hawa panas yang menimpa bumi, bahkan
cuaca tak menentu. Ada yang panas sampai 38 derajat celcius, seperti di jogja.
Tapi di lain tempat adalah banjir dan longsor, seperti di jakarta dan Bandung.
Selain itu, menurut saya suhu kebangsaan juga
sedang panas. Sakit dan meradang. Apalagi hari ini, di televisi banyak suguhan
adegan ”kekerasan”. Baik di luar ruangan gedung wakil rakyat, maupun di dalam
ruangan. Saya sebagai penonton sampai malu, ga tega mau melihat lebih lanjut.
Lalu apakah para pemeran adegan itu merasakan malu?
*Syair
tersebut adalah karya Abu Ali al-Hasan ibnu Hani al-Hakami. Seorang sufi
besar dan juga seorang penyair Islam yang termasyhur pada era kejayaan Islam di zaman kekuasaan Sultan Harun al Rasyid al Abassi, yang menjadi khalifah Dinasti
Abasiyah tahun 786-809. Pada zamannya beliau terkenal dengan sebutan Abu Nawas.
Posted by 23:02 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment